Book Review #1: Orang-Orang Biasa (karya Andrea Hirata)
“Fiksi, bukan sekedar mengadakan yang tidak ada, fiksi adalah cara berpikir.”
Kalimat tersebut akan kamu temukan saat pertama kali membuka buku karya Andrea Hirata ini. Sebuah buku berjudul Orang-Orang Biasa dengan tampilan buku berwarna kuning disertai seorang manusia bertopeng monyet di bagian depan buku.
Pertemuan saya dengan buku ini lebih seperti ketidaksengajaan. Saya tidak pernah mendengar huru-hara atau viralnya buku ini di media sosial. Justru saya terkejut saat suatu sore ketika hujan turun deras, saya berkeliling di Gramedia W.R Supratman dan menemui buku karangan Andrea Hirata yang sebelumnya tidak saya ketahui. Berhubung saya adalah salah satu pecinta kata-kata Andrea Hirata, keputusan untuk meminang buku ini tidak butuh banyak pertimbangan:)
Judul buku ini terdengar sangat down to earth. Orang-Orang Biasa. Saya yang pada saat menemui buku itu sedang dalam masa merasa superordinary di tengah kawanan manusia-manusia hebat — semakin terdorong membeli buku ini. Lalu, saya menemui testimoni pada sampul buku tersebut yang disuarakan oleh Jill Simmons asal New York: “Ordinary People, destined to be the second international bestseller for Indonesian author, Andrea Hirata, after his first one that surprised the world’s reader, The Rainbow Troops.”
Tentu saya segera membawa buku kuning ini ke kasir.
A. Sekilas tentang cerita
Belantik ialah kota penuh kenaifan. Orang-orang yang hidup di dalamnya seakan lupa bagaimana cara berbuat jahat. Kehidupan yang begitu damai membuat Inspektur Abdul Rojali bersama seorang Sersan andalannya harus bersabar menanti masa-masa di mana kriminalitas dapat mereka taklukan. Mata Inspektur sendu menunggu kejahatan. Sosok polisi dalam dirinya perlahan terbaring, lalu lama-lama mati. Di manakah maling-maling Kota Belantik beraksi?
Di sisi lain Kota Belantik, hidup sekawanan siswa: Salud, Honorun, Junilah, Sobri, Nihe, Rusip, Tohirin, Dinah dan Handai; dikenal sebagai siswa-siswa terbelakang, baik perihal prestasi maupun posisi bangku mereka di kelas. Mereka dipertemukan karena satu nasib tragis: memiliki kebodohan luar biasa. Payah dalam Matematika, gagal naik kelas berkali-kali, suka dibuli, juga memiliki masa depan yang redup; semuanya bagaikan deskripsi paling afdol terhadap kegetiran hidup mereka. Lalu, bergabunglah seorang idealis bernama Debut Awaluddin dalam geng siswa bangku belakang. Ia kemudian menjadi pembela terdepan atas ketidakadilan hidup yang menimpa kawan-kawan terbelakangnya.
Namun, siapa sangka? Kota Belantik penuh kenaifan suatu hari dihebohkan dengan kejahatan berencana yang sangat sulit dipecahkan. Dinah, seorang siswa yang takut dan payah betul Matematika ditakdirkan memiliki Aini, anak kebanggannya yang berhasil lulus ke Fakultas Kedokteran. Sangat disayangkan, Dinah tidak mampu membiayai kuliah Aini. Kawan-kawan Dinah, meskipun dungu, tidak rela berpasrah dengan realita itu. Salud, Honorun, Junilah, Sobri, Nihe, Rusip, Tohirin, dan Handai sepakat untuk merampok bank di bawah pimipinan kawannya yang idealis, Debut Awaluddin, demi segelintir uang untuk Aini berkuliah. Lantas, berhasilkah Aini mewujudkan mimpinya berkuliah di Fakultas Kedokteran?
B. Opini terhadap Orang-Orang Biasa
Buku ini sangat khas dengan pembawaan Andrea Hirata yang lekat dengan kisah anak-anak kampung beserta beragam hambatan-hambatan pendidikan. Menyaksikan setiap kata dalam buku ini, khususnya kata-kata yang menarasikan Salud, Honorun, Junilah, Sobri, Nihe, Rusip, Tohirin, Dinah, Debut dan Handai, membuat saya banyak teringat dengan film Laskar Pelangi.
Meskipun begitu, bukan berarti buku ini tidak seru untuk diikuti. Saya sangat menikmati alur ceritanya. Bagaimana penulis menggambarkan nasib ‘bodoh’ yang dialami kawanan tersebut. Bagaimana sulit dan penuh iba hidup sebagai orang-orang bodoh dan dibuli. Kata-kata yang digunakan penulis dalam menarasikan kekonyolan kawan-kawan terbelakang juga sering mengundang gelak tawa.
Melalui buku ini, saya banyak belajar terkait perspektif menjadi pihak yang tidak berdaya. Saya merasa diposisikan sebagai pihak yang tidak mampu mengeksplor diri. Selama ini, saya begitu mudah menuduh para pemuda yang mengemis di jalanan — dengan anting-anting besar dan tato di sekujur tangan — adalah sekelompok orang pemalas yang tidak pernah berani mengambil resiko untuk sukses. Namun, melalui buku ini, saya merasa diarahkan untuk berempati lebih dalam karena realitanya tidak sesederhana itu.
Satu hal lain yang menarik dari buku ini adalah karakter Inspektur. Diceritakan dalam buku ini bahwa Inspektur adalah sosok yang amat sangat patuh pada hukum, tidak pernah mau melenceng, antisuap berapapun nominalnya, dan juga selalu antusias dalam menunggu waktu bertugas. Awalnya saya pikir, kenaifan yang sejati justru terletak pada sosok Inspektur, bukan pada Kota Belantiknya. Haha maklum, stigma saya terhadap orang-orang di pemerintahan sekarang sudah serendah itu. Tapi, boleh jadi memang masih ada polisi-polisi berhati mulia di berbagai sudut kota yang kehebatannya tidak pernah terangkat ke publik. Doa dan salam hangat dari saya untuk para bapak/ibu polisi yang mulia, selamat bertugas menjaga kedamaian negri!
“…..Maka jangan sekali-kali kita memulai untuk berbuat jahat, Sersan! Untuk tidak jujur! Untuk curang! Untuk culas! Karena seperti dikatakan dalam sebuah lagu, kau yang mulai, kau yang tak bisa mengakhiri!”
Dan sampailah pada bagian favorit saya: perjuangan Aini mengejar kesempatan berkuliah ke Fakultas Kedokteran. Sebuah rangkaian perjuangan yang dapat dijadikan definisi dari kata ‘pantang menyerah’. Membaca kata-kata tentang kelelahan dan kesungguhan Aini dalam belajar, mengingatkanku kepada nasehat dari salah satu dosen favorit saya di Kimia, Ibu Deana. Beliau pernah berkata dengan ungkapan kurang lebih seperti ini: “Ada orang-orang di dunia ini yang ketika mendapat nilai bagus, menjadi sombong. Tapi ada yang lebih sombong lagi, yaitu mereka yang saat tidak mengerti tapi malu bertanya kepada yang mengerti! Mengapa saya bisa mengatakan mereka sombong? Karena belum apa-apa, mereka sudah merasa gengsi untuk bertanya atas hal yang mereka tidak ketahui. Secara tidak sadar, mereka merasa lebih baik dari kawan-kawan mereka yang sudah mengerti sehingga tidak mau untuk bertanya. Belajar itu butuh kerendahan hati, maka bertanyalah!”
Kisah kejahatan yang pertama kali diangkat oleh Andrea Hirata ini tak kalah memukau. Bagi saya, cerita ini memiliki alur yang cukup mengecoh. Awal-awalnya, saya cukup bosan dengan irama yang dibuat menuju klimaks karena terasa sangat mudah diprediksi. Namun, klimaks berkata lain. Saya terpukau dengan cara Andrea Hirata membawa pembaca dari bagian klimaks menuju akhir ceritanya.
Sebagai salah satu karya Andrea Hirata, buku ini berhasil melestarikan kehebatan dari penulis idola saya ini: membungkus kesederhanaan dengan cara yang puitik dan mengharukan.
“Tangkap! Tangkaplah orang miskin yang berjuang agar anaknya bisa sekolah! Kita ini bukan merampok, Dinah! Kita ini melawan ketidakadilan! Tengoklah banyaknya anak-anak pintar miskin yang tak dipedulikan Pemerintah! Tengoklah jurusan tertentu hanya dapat dimasuki orang-orang kaya! Tengoklah langkahnya anak-anak orang miskin jadi dokter! Mendaftar ke fakultas itu saja mereka tak berani! Padahal kecerdasan mereka siap diadu! Ilmu hendaknya hanya tunduk pada kecerdasan, bukan pada kekayaan!”